Renungan RamadhanHari ke-20
Jangan Masukkan Dunia Ke Dalam Mesjid
Salah satu amalan ibadah yang Allah Ta’ala gandengkan bersama dalil perintah puasa dalam Al Quran adalah ibadah I’tikaf. Ia adalah suatu bentuk ibadah kepada Allah Ta’ala dengan cara tinggal atau menetap di mesjid. Mesjid adalah tempat yang didirikan untuk beribadah, menetap di mesjid berarti bertujuan mengkhususkan waktunya untuk beribadah pada Allah Ta’ala.
Tujuan I’tikaf
Rasulullah bertujuan dalam ibadah I’tikafnya untuk mencari lailatul qadar, semoga datangnya lailatul qadar beliau dalam keadaan penuh dalam ibadah. Pada mulanya Beliau beri’tikaf di 10 hari awal Ramadhan, kemudian beliau beri’tikaf 10 hari pertengahan ramadhan, begitu beliau ditunjukkan oleh Allah Ta’ala bahwa lailatul qadar jatuh di salah satu malam di 10 malam terakhir bulan ramadhan, beliaupun beri’tikaf di 10 hari tersebut dan menjadi rutinitas beliau sampai wafat.
Hikmah dalam I’tikaf
Kesimpulan dari ucapan Ibnu Qayyim dalam pernyataan beliau tentang hikmah I’tikaf adalah: totalitas dalam menghadap Allah Ta’ala dengan ibadah adalah dicerminkan dengan totalitas penyerahan hati padaNya. Agar hati bisa secara total menghadap Allah Ta’ala maka perlu dibersihkan dari banyak makan-minum; banyak bergaul dan berbicara dengan manusia; dan banyak tidur.
Semua dapat dicapai dengan: puasa bisa mengurangi makan dan minum; dengan qiyamul lail bisa terkurangi tidur; dengan I’tikaf bisa terkurangi bergaul dan omongan dengan manusia karena ia sedang menyendiri di mesjid.
Oleh karena itu, jika Rasulullah beri’tikaf, beliau menyediakan tempat khusus seperti kemah, yang dinamai “khaba”, yang berfungsi agar tertutup dari orang banyak. Walaupun bukan merupakan larangan jika mau berbicara dengan orang karena Rasulullah juga tidak meninggalkan berbicara secara total. Akan tetapi ingat, benyak berbicra, itu yang mengurangi hikmah dari I’tikaf.
Di 10 hari terakhir itu juga Rasulullah menunjukkan kesungguhan beliau dalam ibadah, sehingga ‘Aisyah mengibaratkannya dengan “mengikat erat sarung”. Yaitu, beliau tidak menggauli / jima’ istrinya. Padahal kita tahu, bahwa menggauli istri juga termasuk ibadah. Akan tetapi, Rasulullah meninggalkannya, karena itu masih ada hubungannya dengan kegemerlapan dunia. Beliau ingin benar-benar ibadah yang murni.
Itulah sunnah Rasulullah dalam I’tikaf, waktu yang singkat itu dimanfaatkan untuk “menghindari” dunia. Seperti ini juga yang ditiru oleh para sahabatnya dan para orang sholeh setelah mereka. Mereka masuk mesjid untuk “keluar” dari dunia.
Adapun sekarang ini, banyak orang I’tikaf, mereka masuk mesjid. Akan tetapi, mereka membawa serta dunia masuk ke dalam mesjid. Bersama gadged, smartphone, tablet PC, pembicaraan dengan sesama peserta I’tikaf dalam masalah perekonomian, saham ataupun perkembangan politik. Sehingga terlihat di antara mereka, ketika bangun tidur, yang pertama dilihat adalah isi facebook saat ini; update status untuk hari ini.
Sekali lagi saya katakan, saya bukan mengharamkan perbuatan itu semua, dan juga perbuatan itu semua tidak membatalkan I’tikaf selama tidak keluar dari mesjid. Akan tetapi, ingat hikmah yang mau dicapai dari I’tikaf!!
Rasulullah saja yang sering duduk bersama sahabatnya untuk memnyampaikan hadits pada mereka, namun di saat I’tikaf itu semua ditinggalkan karena mau bermunajat pada Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, di antara para ulama ada yang memakruhkan menuntut ilmu selama I’tikaf, karena Rasulullah tidak mengkhususkan waktunya untuk itu selama I’tikaf. Maka, coba bandingkan dengan program I’tikaf zaman sekarang! I’tikaf bersama Ust ini….Ustzh….itu, dengan jadwal dauroh dan kajian yang padat. Bandingkanlah I’tikaf kita dengan I’tikaf di zaman Rasulullah dulu.
Sebenarnya I’tikaf itu sederhana sekali. Hanya saja sekarang dikemas dengan sedemikian rupa sehingga menjadi agak melenceng dengan hikmah I’tikaf sesungguhnya. Wallahu Musta’an
Penulis: Ustadz Muhammad Yassir, Lc (Dosen STDI Imam Syafi’i Jember)
PengusahaMuslim.com
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- Donasi dapat disalurkan ke rekening: 4564807232 (BCA) / 7051601496 (Syariah Mandiri) / 1370006372474 (Mandiri). a.n. Hendri Syahrial